Riuhnya bunyi dedaunan di sebabkan angin pagi yang gelisah. Kicauan
burung hutan memecah kesunyian. Sang mentari memercik sinarnya pada
wajah-wajah yang saling bercermin pada bola mata masing-masing. Terlihat
dua orang ayah dan anak sedang bertatapan. “Tidak nak, Abah sangat
mengerti, Abah juga minta maaf karena sudah banyak menyusahkanmu.”
Panang Aman mengusap bahu Ramadhan. “Tidak Bah, memang sudah kewajiban
seorang anak untuk merawat dan menjaga orangtua yang telah membesarkan
dengan segenap jiwa dan raga.” Ucap lirih Ramadhan dengan nada rendah.
Terlihat penyesalan yang mendalam pada dirinnya.
Lima puluh tahun yang lalu di sebuah desa tampak rumah berukuran
kecil dan sangat sederhana. Dinding-dinding rumahnya hanyalah terbuat
dari anyaman bambu atau sering disebut palupuh dalam Bahasa Banjar.
Sedang atapnya terbuat dari daun rumbia yang sudah tersusun rapi. Rumah
sederhana itu dihuni oleh sepasang suami istri. Panang Aman dan Acil
Siti mereka sering disebut. Dalam Bahasa Indonesia, Panang adalah paman
dan Acil adalah bibi. Sudah hampir sepuluh tahun Panang Aman dan Acil
Siti masih belum dikaruniai anak. Hari-hari mereka terasa hampa tanpa
kehadiran seorang anak. Akan tetapi mereka selalu ikhlas diiringi dengan
berusaha dan berdoa kepada Allah SWT.
Panang Aman adalah seorang petani yang sangat rajin. Hasil taninya
baik sayur maupun buah akan dijual di pasar dan sebagian lagi untuk
keperluan di rumah. Dan istrinya Acil Siti selalu menemani suaminya di
sawah sembari mencari daun-daun pisang yang juga akan dibawa ke pasar
untuk dijual. Walau hasil yang didapat tidak seberapa. Namun, itu sudah
cukup untuk memenuhi keperluan mereka berdua.
Selepas Isya. Terhampar gelap yang panjang. Suara aliran sungai
menjadi musik yang mengiringi bambu dengan julangan tinggi, saling
bergesekan dengan suara daun-daunnya seolah berbisik-bisik. Rembulan
dengan manja didampingi seekor bintang mengintip pembicaraan dari sebuah
rumah sederhana yang tak jauh dari sungai. Terlihat Acil Siti menutup
jendela karena angin yang dingin masuk tanpa permisi. “Ka, pian kada
dulakkah, kita ini beduaan aja di rumah. Padahal sudah sapuluh tahun
kita menikah.” Ucap acil siti sambil mengikat daun-daun menjadi beberapa
bagian yang akan dijual besok pagi. “Ya, handak kaya apa pang ding,
amun Allah balum membari. Kita harus sabar. Ujar Bidan kandungan pian
kada bemasalah, mungkin Allah belum mempercayai kita untuk segera baisi
anak. Kita juga jangan berhenti memohon kepada Allah agar kita
dikaruniai anak suatu saat nanti.” Jawab Panang Aman dengan bijaksana
sembari mengangkat kopiah di kepalanya untuk menggaruk kepalanya yang
gatal. “Inggih, Aamiin.” Acil siti menghitung daun-daun yang sudah
diikatnya. “Ya sudah, ayo kita tidur. Besok kita pagi-pagi sudah harus
pergi ke pasar.” Panang menuju kasur dengan meletakkan kopiahnya di sisi
kasur. Sementara Acil Siti masih sibuk membereskan daun-daunnya. Tak
ada hari terlewatkan tanpa rangkaian doa-doa dari sepasang suami istri
yang selalu sabar dan tawakkal.
Panang Aman dan Acil Siti tak pernah bosan untuk berdoa. Beberapa
bulan kemudian, rahmat pun datang menghampiri mereka. Doa-doa mereka
dijawab oleh Tuhan. Doa-doa yang tak pernah putus setiap hari bahkan
detik itu. Mungkin saja Tuhan sudah bosan mendengar doa-doa mereka.
Sembilan bulan Acil Siti mengandung. Pada bulan Ramadhan ia
melahirkan anak laki-laki. Ketika tangisan bayi terdengar, alangkah
senang hati Panang karena doanya selama ini telah dijawab oleh Allah
SWT. Namun wajahnya berubah sedih seketika, ketika bidan beranak
mengatakan bahwa Acil Siti sudah meninggal beberapa menit yang lalu
ketika melahirkan bayinya. Kematian Acil Siti kemungkinan disebabkan
oleh kehamilan di usia tua. Panang Aman sangat sedih dengan kejadian
itu. Walau dia sedang berbahagia mendapat seorang putera. Namun
kehilangan seorang istri yang sudah mempertaruhkan hidupnya juga membuat
hatinya hancur. Panang Aman sadar semua kejadian yang menimpanya adalah
memang sudah suratan takdir. Ia yakin ini sudah keputusan dari yang
Maha Kuasa. Di mana akan ada hikmah dibalik semua ini. Ia mencoba untuk
tidak begitu larut dalam kesedihan karena ia masih mempunyai anak yang
harus dijaga.
Ramadhan adalah nama yang diberikan oleh Panang Aman untuk anak
semata wayangnya. Di mana maksud dari kata Ramadhan adalah bulan
kelahiran Ramadhan yaitu pada bulan suci Ramadhan. Hari demi hari
dilalui Panang dengan penuh kesabaran. Merawat seorang bayi bukanlah
perkara gampang terutama bagi seorang laki-laki. Ia merawat Ramadhan
dengan penuh kasih sayang, hingga seekor nyamuk pun tidak ia biarkan
mendekati tubuh Ramadhan.
Ramadhan tumbuh dengan sehat dan pintar. Diusianya yang lima tahun ia
sudah pandai membaca Al Qur’an karena Panang selalu mengajarinya setiap
malam dengan hanya menggunakan penerangan lampu minyak. Panang Aman
selalu menuruti apa yang diminta oleh Ramadhan. Sehingga, Ramadhan
jarang menanyakan tentang ibunya. Ia juga selalu membawa Ramadhan
kemanapun ia pergi. Panang selalu mengajak Ramadhan memancing, ke sawah
dan ke pasar. Ia juga sering mengajak Ramadhan bermain. Panang Aman bisa
menjelma menjadi sosok ibu dan juga teman.
Ramadhan kecil sudah tumbuh dewasa. Ia selalu menolong Bapaknya di
sawah dengan sedikit belajar cara bertani dan menjual hasil taninya ke
pasar. Dan akhirnya ia menjadi anak yang mandiri. Karena Ramadhan sudah
dewasa dan sudah mandiri. Maka, Panang Aman menikahkannya dengan seorang
gadis yang tak jauh dari rumahnya.
Ramadhan sudah berkeluarga. Ia dan istrinya tinggal satu rumah dengan
bapaknya. Dan tidak berapa lama kemudian Ramadhan dikaruniai seorang
anak laki-laki yang sangat dikasihinya. Usia Panang bertambah tua.
Wajahnya sudah banyak berkerut, matanya tak lagi cerah, tatapan matanya
sayu, tangannya yang tak lagi kuat dan tubuhnya yang tak lagi kekar
seperti dulu. Panang hanya bisa berbaring penuh kepasrahan tanpa daya.
Ia hanya bisa memandang cucunya yang sudah berusia 10 tahun. Tanpa bisa
mengajaknya bermain-main seperti dulu ia dengan Ramadhan anaknya. Mainan
apapun yang Ramadhan kecil minta buatkan selalu ia kabulkan dengan
tangannya yang terampil dan kuat. Ia pun teringat raut wajah cerah
Ramadhan kecil yang sedang memamerkan mainannya kepada teman-temannya.
Lamunan masa lalu pun mengahantarkannya pada sebuah mimpi yang memutar
memori lama. Di usia Panang yang sudah tua renta dengan terpaksa
Ramadhan dan istrinya harus merawat dan menuruti semua kehendak
bapaknya.
Panang Aman sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia juga sedikit
cerewet dan sering membuat kesal. Lama-kelamaan Ramadhan merasa lelah
dengan keadaan bapaknya. Sehingga ada niat buruk yang akan dilakukanya
pada bapaknya. Apakah Ramadhan sudah lupa atas semua kasih sayang dan
jerih payah bapaknya selama ini, hingga ia bisa hidup berkecukupan
seperti ini. Apakah ia sudah lupa segalanya. Apakah ia tak ingin
membalas semua jasa bapaknya dengan merawat bapaknya dengan ikhlas di
masa tua bapaknya yang sudah tak berdaya.
Suatu hari munculah pikiran jahat Ramadhan untuk membuang bapaknya ke
hutan. Entah kenapa pikiran itu ada di dalam benaknya. Iblis apakah
yang telah menghasutnya. Hatinya begitu kerdil untuk menerima keadaan
bapaknya. Tapi setidaknya Ramadhan masih mempunyai sekerikil hati hingga
dia tidak membunuh bapaknya secara langsung. Namun, tetap saja
membuangnya ke hutan berarti sudah tidak mengharapkan kehadirannya lagi.
Bukankah itu sama saja membunuh bapaknya dari hati dan pikirannya.
Membuangnya ke hutan juga bisa membunuh secara fisik dengan perlahan
bahkan cepat. Sudah pasti di hutan banyak binatang buas yang siap
memangsa bapaknya. Sungguh Ramadhan sangat keterlaluan dan sampai hati
berniat seperti itu.
Saat pagi yang masih berselubung kabut. Terasa hawa dingin merasuk
kulit. Ramadhan menggendong bapaknya memasuki hutan. Bapaknya tampak
kedinginan karena tidak menggunakan pakaian tebal. Di tengah perjalanan
“Nak, kenapa ikam menggendong abah? handak dibawa ke mana Abah?” Tanya
Panang Aman dengan cemas. “Ah, Abah neh! Sudah, bediam aja jangan banyak
takun.” Hardik Ramadhan dengan marah.
Semak demi semak ia celahi. Hutan belantara telah ia masuki. Tanpa
disadari kaki Panang Aman terkena tumbuh-tumbuhan yang melukai. Tampak
ia menahan perih. Sakit. Panang Aman mulai menyadari bahwa ia akan
dibuang ke hutan oleh anaknya sendiri. “Nak, mau kamu bawa kemana abah
nak, Jangan kamu buang abah nak. Maafkan abah yang sudah menyusahkan
ikam juga istri ikam selama ini.” Panang Aman memohon kepada Ramadhan
dengan berderai air mata. Ramadhan terus berjalan. Ia tak sedikitpun
menggubris kata-kata bapaknya. Dan sama sekali tidak tersentuh oleh
tangisan bapaknya.
Sesekali Ramadhan membenarkan posisi gendongan bapaknya. Saat itu
juga bapaknya berpegangan dengan erat. Tiba-tiba … Prak … Ramadhan
hampir tergelincir karena terinjak jambu biji yang lumayan besar.
Warnanya sangat hijau, ranum namun ada sedikit bekas gigitan kelelawar.
Sedangkan di sekitar itu tidak ada pohon jambu. Mungkin jambu tersebut
dijatuhkan oleh kelelawar. Entahlah. Ramadhan berhenti dan menurunkan
bapaknya. Ia sandarkan bapaknya pada sebuah pohon besar. “Kenapa
berhenti Nak?” Ramadhan tidak menjawab. Ia memungut jambu itu lalu
membersihkannya dengan tangan. “Bapak tahu, pasti kamu ingin membawa
jambu itu pulang kan? Untuk anakmu Ali. Karena ia sangat suka jambu
Karantukal (jambu biji)” ucap Panang Aman dengan sedikit tersenyum.
Ramadhan tersentak. “Abah dulu juga begitu denganmu nak. Jika Abah mau
mencari kayu bakar di hutan, kamu selalu minta carikan jambu karantukal
hutan yang besar. Dan Abah selalu berusaha membawakannya untukmu. Saat
Abah bulik ikam sudah mehadang di muhara lawang menunggu si jambu
karantukal kesukaan ikam. Dan pasti anakmu juga akan seriang itu ketika
kau pulang nanti.” Papar Panang Aman sembari menyeka air mata. Ramadhan
terkulai lesu ketika mendengar ucapan bapaknya. Ia teringat akan kasih
sayang bapaknya ketika ia masih kecil. “Abah…” Ucap lirih Ramadhan
dengan wajah penuh penyesalan. “Nak, teruskan perjalannmu. Abah ikhlas
jika kau benar ingin membuang abah. Abah sadar sekarang sudah tidak bisa
melakukan apa-apa lagi. Mungkin sebentar lagi Abah juga akan mati.”
Panang mengangkat tangannya yang gemetar menunjukkan bahwa ia siap untuk
dibawa ke manapun. Sedangkan Ramadhan menatap wajah bapaknya yang penuh
pasrah. Ia mendekati bapaknya. “Tidak Abah, kita akan pulang. Sekarang
aku sadar betapa abah sudah sangat menyayangi dan mengasihiku saat aku
kecil hingga dewasa. Ulun anak yang durhaka Bah, ulun sudah berniat
untuk membuang pian. Ampuni ulun Bah, ampuni dosa-dosa ulun Abah…”
Ramadhan menangis sejadi-jadinya. Ia sangat menyesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar